“Nenek moyangku seorang pelaut…”
Begitulah bunyi sebuah lirik lagu yang sejak kecil sering kita
nyanyikan. Tapi tahukah kalian siapa sebenarnya nenek
moyang kita itu? Siapa kira-kira mereka yang ribuan tahun lalu memijakkan
kakinya dan memulai kehidupan disini? Menurut salah satu analisa sejarah, nenek
moyang bangsa kita berasal dari kawasan Indochina. Namun disamping teori itu,
banyak juga teori lain yang hingga kini turut memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan tentang awal mula peradaban Nusantara. Teori-teori apa saja yang
berkembang? Mari kita ulas satu persatu:
Prof. Dr. H. Kern
Ilmuwan
asal Belanda ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Kern
berpendapat bahwa bahasa - bahasa yang digunakan di kepulauan Indonesia,
Polinesia, Melanesia dan Mikronesia memiliki akar bahasa yang sama, yakni
bahasa Austronesia. Kern menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia berawal dari satu
daerah dan menggunakan bahasa Campa. Menurutnya, nenek-moyang bangsa Indonesia
menggunakan perahu-perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia. Pendapat Kern
ini didukung oleh adanya persamaan nama dan bahasa yang dipergunakan di daerah
Campa dengan di Indonesia, misalnya kata “kampong” yang banyak digunakan
sebagai kata tempat disana. Selain nama geografis, iIstilah-istilah binatang
dan alat perang pun banyak kesamaannya. Tetapi pendapat ini disangkal oleh K. Himly
dan P.W. Schmidt berdasarkan perbendaharaan bahasa Campa.
Van Heine Geldern
Pendapatnya tak jauh berbeda dengan Kern bahwa bahasa Indonesia
berasal dari Asia Tengah. Teori Geldern ini didukung oleh penemuan-penemuan
sejumlah artefak, sebagai perwujudan budaya, yang ditemukan di Indonesia
mempunyai banyak kesamaan dengan yang ditemukan di daratan Asia.
Max Muller
Berpendapat lebih spesifik, yaitu bahwa bangsa Indonesia berasal
dari daerah Asia Tenggara. Namun, alasan Muller tak didukung oleh alasan yang
jelas.
Willem Smith
Melihat asal-usul bangsa Indonesia melalui penggunaan bahasa
oleh orang-orang Indonesia. Willem Smith membagi bangsa-bangsa di Asia atas
dasar bahasa yang dipakai, yakni bangsa yang berbahasa Togon, bangsa yang
berbahasa Jerman dan bangsa yang berbahasa Austria. Lalu bahasa Austria dibagi
dua, yaitu bangsa yang berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa
Austronesia. Bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah
Indonesia, Melanesia dan Polinesia.
Hogen
Menyatakan bahwa bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu
berasal dari Sumatera. Bangsa Melayu ini kemudian bercampur dengan bangsa
Mongol yang disebut bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu
Muda). Bangsa Proto Melayu kemudian menyebar di sekitar wilayah Indonesia pada
tahun 3.000 hingga 1.500 SM, sedangkan bangsa Deutro Melayu datang ke Indonesia
sekitar tahun 1.500 hingga 500 SM.
Drs. Moh. Ali
Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan,
Cina. Pendapat ini dipengaruhi oleh pendapat Mens yang berpendapat bahwa bangsa
Indonesia berasal dari daerah Mongol yang terdesak oleh bangsa-bangsa lebih
kuat sehingga mereka pindah ke selatan, termasuk ke Indonesia. Ali mengemukakan
bahwa leluhur orang Indonesia berasal dari hulu-hulu sungai besar yang terletak
di daratan Asia dan mereka berdatangan secara bergelombang. Gelombang pertama
berlangsung dari 3.000 hingga 1.500 SM (Proto Melayu) dan gelombang kedua
terjadi pada 1.500 hingga 500 SM (Deutro Melayu). Ciri-ciri gelombang pertama
adalah kebudayaan Neolitikum dengan jenis perahu bercadik-satu, sedangkan
gelombang kedua menggunakan perahu bercadik-dua.
Prof. Dr. Krom
Menguraikan bahwa masyarakat awal Indonesia berasal dari Cina
Tengah karena di daerah Cina Tengah banyak terdapat sumber sungai besar. Mereka
menyebar ke kawasan Indonesia sekitar 2.000 SM sampai 1.500 SM.
Mayundar
Berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia
berasal dari India, lalu menyebar ke wilayah Indochina terus ke daerah
Indonesia dan Pasifik. Teori Mayundar ini didukung oleh penelitiannya bahwa
bahasa Austronesia merupakan bahasa Muda di India bagian timur.
Dr. Brandes
Berpendapat bahwa suku-suku yang bermukim di kepulauan Indonesia
memiliki persamaan dengan bangsa-bangsa yang bermukim di daerah-daerah yang
membentang dari sebelah utara Pulau Formosa di Taiwan, sebelah barat Pulau
Madagaskar dansebelah timur hingga ke tepi pantai bata Amerika. Brandes
melakukan penelitian ini berdasarkan perbandingan bahasa.
Prof. Mohammad Yamin
Yamin menentang teori-teori di atas. Ia menyangkal bahwa orang
Indonesia berasal dari luar kepulauan Indonesia. Menurut pandangannya, orang
Indonesia adalah asli berasal dari wilayah Indonesia sendiri. Ia bahkan
meyakini bahwa ada sebagian bangsa atau suku di luar negeri yang berasal dari
Indonesia. Yamin menyatakan bahwa temuan fosil dan artefak lebih banyak dan
lengkap di Indonesia daripada daerah lain di Asia, misalnya temuan fosil Homo
atau Pithecanthropus Soloensis dan Wajakensis yang tak ditemukan di daerah Asia
lain termasuk Indochina (Asia Tenggara).
Lalu bagaimana pendapat kalian?
Yang harus kita sadari adalah teori-teori di atas merupakan
produksi masa lalu dimana ilmu arkeologi belum dilengkapi pengetahuan genetik
dan linguistik yang tajam. Teori saat itu hanya dibangun dengan melihat dari
segi fisik saja.
Sebenarnya jawaban atas pertanyaan “Siapakah nenek moyang bangsa Indonesia?” dapat dikaji dari ilmu arkeologi, ilmu linguistik, ilmu
antropologi budaya, ilmu paleoantropologi dan ilmu genetika. Para ahli
purbakala masa kini telah menelusurinya dan meneliti endapan tanah purba 1,5
juta tahun yang lalu. Endapan purba tersebut dikenal dengan nama Plestosen
Bawah dan ditemukan di kawasan Jawa Tengah serta Jawa Timur. Dari fosil-fosil
yang terdapat di endapan purba tersebut para ahli dapat meneliti perikehidupan
manusia purba.
Dari peta distribusi geografis, ada jenis makhluk yang bernama
Homo Erectus. Makhluk ini menunjukkan bahwa Nusantara kita adalah daerah
migrasi makhluk ini. Mereka tersebar dari Afrika sampai ke tenpat kita berada
saat ini. Homo erectus
diperkirakan lahir di Afrika, 1,7 juta tahun yang lalu. Wujud makhluk ini
seperti monyet besar.
Apakah nenek moyang manusia Indonesia adalah makhluk Homo
Erectus ini? Bukan! Makhluk yang berwujud mendekati kera tersebut sudah punah.
Tidak punya keturunan lagi. Dan itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu.
Nenek moyang manusia konon, dari makhluk yang bernama Homo
Sapiens, yang lahir ratusan ribu tahun silam. Fosil-fosil Homo Sapiens
ditemukan di gua-gua purba zaman pra sejarah. Mereka hidup di gua-gua pada era
Helosen. Jadi makhluk Homo Erectus dan Homo Sapiens tidak punya “hubungan darah”.
Homo Sapiens bukan keturunan Homo
Erectus. Lebih tegas lagi, dari kajian ilmu kepurbakalaan dapat diketahui bahwa
manusia bukan keturunan kera! Tentunya termasuk manusia yang berdiam di
Nusantara ini.
Dari Ilmu Linguistik
Dari kajian ilmu linguistik atau ilmu bahasa, bangsa Indonesia
adalah penutur bahasa Austronesia. Sekitar 5.000 tahun lalu, bahasa ini sudah
digunakan oleh manusia di Nusantara. Bahasa ini konon akar dari bahasa Melayu.
Bahasa Austronesia memiliki penyebaran paling luas di dunia, khususnya sebelum
zaman penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Bahasa Austronesia berkembang menjadi 1.200 bahasa lokal dari
Madagaskar di barat sampai di Pulau Paskah di timur, dari Taiwan di utara
sampai Selandia Baru di selatan. Penyebaran bahasa Austronesia lebih luas
dibanding penyebaran bahasa Indo Eropa, Aria Barat dan Aria Timur atau Semit.
Keturunan Bahasa Austronesia tumbuh dan berkembang ratusan tahun
dan digunakan oleh 300 juta manusia di Asia Timur dan Asia Pasifik. Para
penutur bahasa Austronesia beragam, mulai dari para nelayan, pelaut, pedagang,
bangsawan, pengeliling dunia, sampai kaum petani di pedalaman. Sekitar 80 juta
manusia penutur bahasa Austronesia hidup di kepulauan Nusantara dan kepulauan
Pasifik.
Jadi siapa nenek moyang manusia yang bertutur dengan menggunakan
bahasa Austronesia dan tinggal di Nusantara itu? Hal tersebut masih menjadi
kontroversi di kalangan para ahli. Pendapat mereka bermacam ragam, ada yang
mengatakan dari Formosa (Taiwan), Hainan (Hongkong), Yunan (China
Selatan), Filipina atau Jepang.
Dari Bahasa Austrik
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman
Simanjuntak pernah berpendapat, rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari
bahasa Austrik. Bahasa ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua,
yaitu Austro Asiatik dan Austronesia.
Austro Asiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya di Indo-China,
Thailand dan Munda di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke
selatan dan di tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke
kepulauan Pasifik.
Menurut teori “Model Out of Taiwan”, bahasa Austronesia mulai
mengkristal di Formosa atau Taiwan. Penutur bahasa ini bermigrasi dari daratan
China Selatan 6.000 tahun yang lalu. Diperkirakan mereka berasal dari Fujian
atau Guangdong, dua daerah di China Selatan.
Proses kristalisasi bahasa Austronesia di Taiwan kemudian
melahirkan budaya “Da-pen-keng”. Budaya tersebut berkembang dan
bercabang-cabang menjadi sejumlah dialek lokal. Itu terjadi sekitar 4.700 tahun
lalu. Pada masa Austronesia awal tersebut manusia sudah mengerti memelihara
babi dan anjing, sudah mengenal budidaya padi meski masih sederhana, menanam
ubi dan tebu, membuat kain dari kulit kayu dan membuat gerabah.
Ratusan tahun kemudian budaya mereka meningkat lagi. Misalnya
mulai menggunakan peralatan dari batu dan tulang dan mulai membuat kano, perahu
kecil dan sempit.
Sejumlah kelompok penutur bahasa Austronesia ini kemudian mulai
berkelana ke selatan lewat lautan dengan menggunakan perahu yang sederhana,
yang lebih banyak digerakkan oleh arus ombak lautan. Mereka terus bergerak ke arah
selatan. Di antara mereka ada yang bergerak ke arah Asia Tenggara, sampai ke
Filipina dan Kalimantan Utara. Itu terjadi 4.500 tahun yang lalu.
Kelompok pemukim awal di Filipina atau di Kalimantan Utara ini
akhirnya menciptakan bahasa “Proto Malayo Polynesia” (PMP) yang merupakan
cabang dari induknya, Proto Austronesia.
Di kawasan baru tersebut perbendaharaan budaya mereka bertambah.
Budidaya tanaman yang berasal dari biji-bijian mulai bertambah, misalnya mulai
menanam kelapa, sagu, sukun dan pisang. Pada saat itu perhubungan laut juga
mulai meningkat. Teknologi pelayaran mereka mulai canggih. Maka diantara mereka
mulai ada yang bermigrasi ke pulau-pulau di Nusantara, misalnya ke Sulawesi dan
Maluku. Bahkan ada yang sampai ke pulau Mikronesia, Lautan Pasifik.
Dalam tahap selanjutrnya, puluhan tahun kemudian mereka ada yang
bermigrasi ke Jawa, Sumatra dan Semenanjung Malaka. Ke arah timur, mereka
menuju ke Nusa Tenggara, Maluku, Papua Barat, sampai ke kepulauan Bismarck. Di
kawasan timur ini, budaya tanaman biji-bijian mereka tinggalkan dan beralih ke
budidaya berbagai tanaman umbi-umbian. Bumi dan alam di Nusantara bagian timur
ternyata tidak cocok untuk tanaman biji-bijian.
Menurut pakar arkeologi yang lain, Daud Ario Tanudirjo,
persebaran para penutur Proto Malayo Polynesia tersebut terjadi sekitar 4.000
hingga 3.300 tahun yang lalu. Hal itu ditandai luasnya distribusi gerabah
berpoles merah.
Kemampuan mereka
mengarungi lautan jarak jauh, mendorongnya untuk terus mencari daerah baru yang
kemungkinan lebih baik atau lebih nyaman untuk hidup. Mereka telah mengenal
strategi lompat katak. Dari pulau yang satu melompat ke pulau yang lain yang
lebih dekat. Demikian seterusnya sampai mereka tiba di pulau yang paling jauh.
Bahasa Proto Malayo Polynesia tersebut
berkembang di kawasan barat Nusantara sedangkan di kawasan Halmahera, Maluku
berkembang bahasa-bahasa “Proto Central Malayo Polynesia”. Bahasa-bahasa “Proto
Eastern Malayo Polynesia” berkembang di daerah Kepala Burung, Papua Barat dan
bahasa-bahasa “Proto Oceanic” berkembang di Kepulauan Bismarck, Pasifik Barat
dan sekitarnya.
Semua proto-bahasa dalam bentuk ini, dari Proto Malayo Polynesia
hingga ke Proto Oceania menunjukkan
kesamaan kognat yang tinggi, yakni lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata.
Demikian menurut pakar arkeologi Daud Aris Tanudirjo.
Sementara itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood,
berbagai proto-bahasa yang pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan
Bismarck boleh dikatakan satu bahasa namun dengan sedikit perbedaan variasi
dialek.
Austromelanesoid – Mongoloid
Dari hasil penemuan dan penelitian di Pegunungan Sewu (bagian
tengah Jawa Tengah-Jawa Timur), para ahli menemukan kohabitasi (bercampurnya
dua suku bangsa di suatu wilayah) yaitu ras Australomelanesoid dengan ras
Mongoloid dalam waktu yang hampir bersamaan. Kohabitasi dua ras tersebut jauh
sebelum datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid.
Dalam situs purbakala di kawasan Jateng-Jatim tersebut ditemukan
kerangka Austromelanesoid yang dikubur dalam posisi terlipat. Di tempat yang
sama juga ditemukan kerangka Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.
Penemuan kerangka manusia purba di daerah Wajak (dekat
Tulungagung, Jawa Timur) menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid pada bagian
wajahnya, sekaligus menunjukkan ciri-ciri ras Austromelanesid pada bentuk umum
tengkoraknya. Dari bukti-bukti yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
nenek moyang bangsa Indonesia adalah:
1.
Percampuran antara dua ras Austromelanesoid dan Mongoloid yang
mendiami bumi Nusantara ini, datang gelombang demi gelombang, dalam waktu
berabad-abad, kemudian bercampur dengan
2.
Rumpun Asia, bercampur lagi dengan
3.
Rumpun Aria dari India, dan bercampur lagi dengan
4.
Bangsa Semit di masa-masa modern sesudahnya.
Dari
analisis tersebut maka akan sulit untuk menentukan siapa sebenarnya diantara
kita yang pantas disebut bangsa Indonesia ASLI. Apalagi di zaman sekarang,
ketika perpindahan penduduk dari satu negeri ke negeri lain bisa dilakukan
dengan mudahnya.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, karena bangsa kita
bersumber dari nenek moyang yang sama (Nabi Adam AS), maka tidaklah pantas
membedakan orang Jawa, orang Batak, orang Cina, orang Bugis dan suku-suku
lainnya dengan kata pribumi atau non-pribumi. Masing-masing kita memiliki
perawakan, tradisi, bahasa, ataupun kebiasaan dan keberhasilan dalam hidup yang
berbeda, tapi kita semua adalah manusia Indonesia, yang bisa saling menguatkan
dan mengisi kekurangan satu sama lain untuk membangun tanah air tercinta.
BHINEKA TUNGGAL IKA !!!
Diposkan oleh Doni Sang Ustad