Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Friday, April 25, 2014


SEJARAH SUMPAH PEMUDA

Peristiwa sejarah Soempah Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie.
Ø  Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Ø  Sejarah Sumpah Pemuda. Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Sehingga menghasilkan Sumpah Pemuda.
v  Rapat Pertama, Gedung Katholieke Jongenlingen Bond
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
v  Rapat Kedua, Gedung Oost-Java Bioscoop
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
v  Rapat Ketiga, Gedung Indonesisch Huis Kramat
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.



Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres.  Lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia, berbunyi :

PERTAMA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA,
MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE,
TANAH INDONESIA.
KEDOEA
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA,
MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE,
BANGSA INDONESIA.
KETIGA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN,
BAHASA INDONESIA



Apabila kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda kita bisa menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI Jl. Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti biola asli milik Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi Indonesia...


















                                            


Ciri-Ciri Kehidupan Pada Masa Berburu dan Meramu & Ciri - Ciri Kehidupan Manusia Purba Pada Masa Bercocok Tanam

Ciri-Ciri Kehidupan Pada Masa Berburu dan Meramu



  1. Kehidupan berpindah-pindah (nomaden)
  2. Bahan makanan tergantung pada alam (food cathering)
  3. Tinggal di gua-gua tepi pantai.
  4. Sudah ada pembagian tugas.
  5. Alat/perkakas terdiri dari batu berbentuk kapak perimbas dan kapak genggam

Ciri - Ciri Kehidupan Manusia Purba Pada Masa Bercocok Tanam



  1. Hidupnya sudah menetap (sedenten).
  2. Bahan makanannya hasil dari bercocok tanam (food producing).
  3. Sudah mulai mengenal hidup bergotongroyong, dipimpin kepala suku.
  4. Sudah mengenal perdagangan barter.
  5. Alat pertaniannya terdiri dari kapak persegi dan kapak lonjong.
  
semoga bermanfaat yea... :D

Saturday, May 11, 2013

Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia


 



“Nenek moyangku seorang pelaut…”

Begitulah bunyi sebuah lirik lagu yang sejak kecil sering kita nyanyikan. Tapi tahukah kalian siapa sebenarnya nenek moyang kita itu? Siapa kira-kira mereka yang ribuan tahun lalu memijakkan kakinya dan memulai kehidupan disini? Menurut salah satu analisa sejarah, nenek moyang bangsa kita berasal dari kawasan Indochina. Namun disamping teori itu, banyak juga teori lain yang hingga kini turut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang awal mula peradaban Nusantara. Teori-teori apa saja yang berkembang? Mari kita ulas satu persatu:

Prof. Dr. H. Kern

Ilmuwan asal Belanda ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Kern berpendapat bahwa bahasa - bahasa yang digunakan di kepulauan Indonesia, Polinesia, Melanesia dan Mikronesia memiliki akar bahasa yang sama, yakni bahasa Austronesia. Kern menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia berawal dari satu daerah dan menggunakan bahasa Campa. Menurutnya, nenek-moyang bangsa Indonesia menggunakan perahu-perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia. Pendapat Kern ini didukung oleh adanya persamaan nama dan bahasa yang dipergunakan di daerah Campa dengan di Indonesia, misalnya kata “kampong” yang banyak digunakan sebagai kata tempat disana. Selain nama geografis, iIstilah-istilah binatang dan alat perang pun banyak kesamaannya. Tetapi pendapat ini disangkal oleh K. Himly dan P.W. Schmidt berdasarkan perbendaharaan bahasa Campa.

Van Heine Geldern

Pendapatnya tak jauh berbeda dengan Kern bahwa bahasa Indonesia berasal dari Asia Tengah. Teori Geldern ini didukung oleh penemuan-penemuan sejumlah artefak, sebagai perwujudan budaya, yang ditemukan di Indonesia mempunyai banyak kesamaan dengan yang ditemukan di daratan Asia.

Max Muller 

Berpendapat lebih spesifik, yaitu bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Asia Tenggara. Namun, alasan Muller tak didukung oleh alasan yang jelas.

Willem Smith 

Melihat asal-usul bangsa Indonesia melalui penggunaan bahasa oleh orang-orang Indonesia. Willem Smith membagi bangsa-bangsa di Asia atas dasar bahasa yang dipakai, yakni bangsa yang berbahasa Togon, bangsa yang berbahasa Jerman dan bangsa yang berbahasa Austria. Lalu bahasa Austria dibagi dua, yaitu bangsa yang berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa Austronesia. Bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah Indonesia, Melanesia dan Polinesia.

Hogen 

Menyatakan bahwa bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu berasal dari Sumatera. Bangsa Melayu ini kemudian bercampur dengan bangsa Mongol yang disebut bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda). Bangsa Proto Melayu kemudian menyebar di sekitar wilayah Indonesia pada tahun 3.000 hingga 1.500 SM, sedangkan bangsa Deutro Melayu datang ke Indonesia sekitar tahun 1.500 hingga 500 SM.

Drs. Moh. Ali 

Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan, Cina. Pendapat ini dipengaruhi oleh pendapat Mens yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol yang terdesak oleh bangsa-bangsa lebih kuat sehingga mereka pindah ke selatan, termasuk ke Indonesia. Ali mengemukakan bahwa leluhur orang Indonesia berasal dari hulu-hulu sungai besar yang terletak di daratan Asia dan mereka berdatangan secara bergelombang. Gelombang pertama berlangsung dari 3.000 hingga 1.500 SM (Proto Melayu) dan gelombang kedua terjadi pada 1.500 hingga 500 SM (Deutro Melayu). Ciri-ciri gelombang pertama adalah kebudayaan Neolitikum dengan jenis perahu bercadik-satu, sedangkan gelombang kedua menggunakan perahu bercadik-dua.

Prof. Dr. Krom 

Menguraikan bahwa masyarakat awal Indonesia berasal dari Cina Tengah karena di daerah Cina Tengah banyak terdapat sumber sungai besar. Mereka menyebar ke kawasan Indonesia sekitar 2.000 SM sampai 1.500 SM.

Mayundar 

Berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India, lalu menyebar ke wilayah Indochina terus ke daerah Indonesia dan Pasifik. Teori Mayundar ini didukung oleh penelitiannya bahwa bahasa Austronesia merupakan bahasa Muda di India bagian timur.

Dr. Brandes 

Berpendapat bahwa suku-suku yang bermukim di kepulauan Indonesia memiliki persamaan dengan bangsa-bangsa yang bermukim di daerah-daerah yang membentang dari sebelah utara Pulau Formosa di Taiwan, sebelah barat Pulau Madagaskar dansebelah timur hingga ke tepi pantai bata Amerika. Brandes melakukan penelitian ini berdasarkan perbandingan bahasa.

Prof. Mohammad Yamin

Yamin menentang teori-teori di atas. Ia menyangkal bahwa orang Indonesia berasal dari luar kepulauan Indonesia. Menurut pandangannya, orang Indonesia adalah asli berasal dari wilayah Indonesia sendiri. Ia bahkan meyakini bahwa ada sebagian bangsa atau suku di luar negeri yang berasal dari Indonesia. Yamin menyatakan bahwa temuan fosil dan artefak lebih banyak dan lengkap di Indonesia daripada daerah lain di Asia, misalnya temuan fosil Homo atau Pithecanthropus Soloensis dan Wajakensis yang tak ditemukan di daerah Asia lain termasuk Indochina (Asia Tenggara).

Lalu bagaimana pendapat kalian?
Yang harus kita sadari adalah teori-teori di atas merupakan produksi masa lalu dimana ilmu arkeologi belum dilengkapi pengetahuan genetik dan linguistik yang tajam. Teori saat itu hanya dibangun dengan melihat dari segi fisik saja. 

Sebenarnya jawaban atas pertanyaan “Siapakah nenek moyang bangsa Indonesia?” dapat dikaji dari ilmu arkeologi, ilmu linguistik, ilmu antropologi budaya, ilmu paleoantropologi dan ilmu genetika. Para ahli purbakala masa kini telah menelusurinya dan meneliti endapan tanah purba 1,5 juta tahun yang lalu. Endapan purba tersebut dikenal dengan nama Plestosen Bawah dan ditemukan di kawasan Jawa Tengah serta Jawa Timur. Dari fosil-fosil yang terdapat di endapan purba tersebut para ahli dapat meneliti perikehidupan manusia purba.

Dari peta distribusi geografis, ada jenis makhluk yang bernama Homo Erectus. Makhluk ini menunjukkan bahwa Nusantara kita adalah daerah migrasi makhluk ini. Mereka tersebar dari Afrika sampai ke tenpat kita berada saat ini. Homo erectus diperkirakan lahir di Afrika, 1,7 juta tahun yang lalu. Wujud makhluk ini seperti monyet besar.

Apakah nenek moyang manusia Indonesia adalah makhluk Homo Erectus ini? Bukan! Makhluk yang berwujud mendekati kera tersebut sudah punah. Tidak punya keturunan lagi. Dan itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu.

Nenek moyang manusia konon, dari makhluk yang bernama Homo Sapiens, yang lahir ratusan ribu tahun silam. Fosil-fosil Homo Sapiens ditemukan di gua-gua purba zaman pra sejarah. Mereka hidup di gua-gua pada era Helosen. Jadi makhluk Homo Erectus dan Homo Sapiens tidak punya “hubungan darah”. Homo Sapiens bukan keturunan Homo Erectus. Lebih tegas lagi, dari kajian ilmu kepurbakalaan dapat diketahui bahwa manusia bukan keturunan kera! Tentunya termasuk manusia yang berdiam di Nusantara ini. 

Dari Ilmu Linguistik
Dari kajian ilmu linguistik atau ilmu bahasa, bangsa Indonesia adalah penutur bahasa Austronesia. Sekitar 5.000 tahun lalu, bahasa ini sudah digunakan oleh manusia di Nusantara. Bahasa ini konon akar dari bahasa Melayu. Bahasa Austronesia memiliki penyebaran paling luas di dunia, khususnya sebelum zaman penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia-Afrika.

Bahasa Austronesia berkembang menjadi 1.200 bahasa lokal dari Madagaskar di barat sampai di Pulau Paskah di timur, dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di selatan. Penyebaran bahasa Austronesia lebih luas dibanding penyebaran bahasa Indo Eropa, Aria Barat dan Aria Timur atau Semit.

Keturunan Bahasa Austronesia tumbuh dan berkembang ratusan tahun dan digunakan oleh 300 juta manusia di Asia Timur dan Asia Pasifik. Para penutur bahasa Austronesia beragam, mulai dari para nelayan, pelaut, pedagang, bangsawan, pengeliling dunia, sampai kaum petani di pedalaman. Sekitar 80 juta manusia penutur bahasa Austronesia hidup di kepulauan Nusantara dan kepulauan Pasifik.

Jadi siapa nenek moyang manusia yang bertutur dengan menggunakan bahasa Austronesia dan tinggal di Nusantara itu? Hal tersebut masih menjadi kontroversi di kalangan para ahli. Pendapat mereka bermacam ragam, ada yang mengatakan dari Formosa (Taiwan),  Hainan (Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina atau Jepang.

Dari Bahasa Austrik
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak pernah berpendapat, rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua, yaitu Austro Asiatik dan Austronesia.

Austro Asiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya di Indo-China, Thailand dan Munda di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan di tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.

Menurut teori “Model Out of Taiwan”, bahasa Austronesia mulai mengkristal di Formosa atau Taiwan. Penutur bahasa ini bermigrasi dari daratan China Selatan 6.000 tahun yang lalu. Diperkirakan mereka berasal dari Fujian atau Guangdong, dua daerah di China Selatan.

Proses kristalisasi bahasa Austronesia di Taiwan kemudian melahirkan budaya “Da-pen-keng”. Budaya tersebut berkembang dan bercabang-cabang menjadi sejumlah dialek lokal. Itu terjadi sekitar 4.700 tahun lalu. Pada masa Austronesia awal tersebut manusia sudah mengerti memelihara babi dan anjing, sudah mengenal budidaya padi meski masih sederhana, menanam ubi dan tebu, membuat kain dari kulit kayu dan membuat gerabah.

Ratusan tahun kemudian budaya mereka meningkat lagi. Misalnya mulai menggunakan peralatan dari batu dan tulang dan mulai membuat kano, perahu kecil dan sempit.

Sejumlah kelompok penutur bahasa Austronesia ini kemudian mulai berkelana ke selatan lewat lautan dengan menggunakan perahu yang sederhana, yang lebih banyak digerakkan oleh arus ombak lautan. Mereka terus bergerak ke arah selatan. Di antara mereka ada yang bergerak ke arah Asia Tenggara, sampai ke Filipina dan Kalimantan Utara. Itu terjadi 4.500 tahun yang lalu.

Kelompok pemukim awal di Filipina atau di Kalimantan Utara ini akhirnya menciptakan bahasa “Proto Malayo Polynesia” (PMP) yang merupakan cabang dari induknya, Proto Austronesia.

Di kawasan baru tersebut perbendaharaan budaya mereka bertambah. Budidaya tanaman yang berasal dari biji-bijian mulai bertambah, misalnya mulai menanam kelapa, sagu, sukun dan pisang. Pada saat itu perhubungan laut juga mulai meningkat. Teknologi pelayaran mereka mulai canggih. Maka diantara mereka mulai ada yang bermigrasi ke pulau-pulau di Nusantara, misalnya ke Sulawesi dan Maluku. Bahkan ada yang sampai ke pulau Mikronesia, Lautan Pasifik.

Dalam tahap selanjutrnya, puluhan tahun kemudian mereka ada yang bermigrasi ke Jawa, Sumatra dan Semenanjung Malaka. Ke arah timur, mereka menuju ke Nusa Tenggara, Maluku, Papua Barat, sampai ke kepulauan Bismarck. Di kawasan timur ini, budaya tanaman biji-bijian mereka tinggalkan dan beralih ke budidaya berbagai tanaman umbi-umbian. Bumi dan alam di Nusantara bagian timur ternyata tidak cocok untuk tanaman biji-bijian.

Menurut pakar arkeologi yang lain, Daud Ario Tanudirjo, persebaran para penutur Proto Malayo Polynesia tersebut terjadi sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun yang lalu. Hal itu ditandai luasnya distribusi gerabah berpoles merah.

Kemampuan mereka mengarungi lautan jarak jauh, mendorongnya untuk terus mencari daerah baru yang kemungkinan lebih baik atau lebih nyaman untuk hidup. Mereka telah mengenal strategi lompat katak. Dari pulau yang satu melompat ke pulau yang lain yang lebih dekat. Demikian seterusnya sampai mereka tiba di pulau yang paling jauh.

Bahasa Proto Malayo Polynesia tersebut berkembang di kawasan barat Nusantara sedangkan di kawasan Halmahera, Maluku berkembang bahasa-bahasa “Proto Central Malayo Polynesia”. Bahasa-bahasa “Proto Eastern Malayo Polynesia” berkembang di daerah Kepala Burung, Papua Barat dan bahasa-bahasa “Proto Oceanic” berkembang di Kepulauan Bismarck, Pasifik Barat dan sekitarnya.

Semua proto-bahasa dalam bentuk ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga ke Proto Oceania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yakni lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata. Demikian menurut pakar arkeologi Daud Aris Tanudirjo.

Sementara itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood, berbagai proto-bahasa yang pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan Bismarck boleh dikatakan satu bahasa namun dengan sedikit perbedaan variasi dialek.

Austromelanesoid – Mongoloid
Dari hasil penemuan dan penelitian di Pegunungan Sewu (bagian tengah Jawa Tengah-Jawa Timur), para ahli menemukan kohabitasi (bercampurnya dua suku bangsa di suatu wilayah) yaitu ras Australomelanesoid dengan ras Mongoloid dalam waktu yang hampir bersamaan. Kohabitasi dua ras tersebut jauh sebelum datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid.

Dalam situs purbakala di kawasan Jateng-Jatim tersebut ditemukan kerangka Austromelanesoid yang dikubur dalam posisi terlipat. Di tempat yang sama juga ditemukan kerangka Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.



Penemuan kerangka manusia purba di daerah Wajak (dekat Tulungagung, Jawa Timur) menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid pada bagian wajahnya, sekaligus menunjukkan ciri-ciri ras Austromelanesid pada bentuk umum tengkoraknya. Dari bukti-bukti yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah:
1.            Percampuran antara dua ras Austromelanesoid dan Mongoloid yang mendiami bumi Nusantara ini, datang gelombang demi gelombang, dalam waktu berabad-abad, kemudian bercampur dengan
2.            Rumpun Asia, bercampur lagi dengan
3.            Rumpun Aria dari India, dan bercampur lagi dengan
4.            Bangsa Semit di masa-masa modern sesudahnya.
Dari analisis tersebut maka akan sulit untuk menentukan siapa sebenarnya diantara kita yang pantas disebut bangsa Indonesia ASLI. Apalagi di zaman sekarang, ketika perpindahan penduduk dari satu negeri ke negeri lain bisa dilakukan dengan mudahnya.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, karena bangsa kita bersumber dari nenek moyang yang sama (Nabi Adam AS), maka tidaklah pantas membedakan orang Jawa, orang Batak, orang Cina, orang Bugis dan suku-suku lainnya dengan kata pribumi atau non-pribumi. Masing-masing kita memiliki perawakan, tradisi, bahasa, ataupun kebiasaan dan keberhasilan dalam hidup yang berbeda, tapi kita semua adalah manusia Indonesia, yang bisa saling menguatkan dan mengisi kekurangan satu sama lain untuk membangun tanah air tercinta.
BHINEKA TUNGGAL IKA !!!

Friday, May 3, 2013

Legenda Daerah Sumbawa


Tanjung Menangis :
 Ketika Kasih Tak Sampai

   Syahdan. Sultan Samawa sangat sedih menyaksikan putrinya yang terbaring sakit. Ia telah berusaha tanpa kenal lelah guna mencarikan pengobatan bagi putri tercinta agar segera sembuh. Berbagai cara pengobatan telah dilakukan berharap Sang Putri bisa pulih seperti sedia kala, namun sudah sekian lama belum menunjukkan hasil yang berarti.
Akhirnya Sultan menggelar sayembara, barangsiapa bisa menyembuhkan putrinya, jika lelaki akan dijodohkan dengan Sang Putri. Sandro atau dukun dari berbagai penjuru Tana Samawa berlomba untuk menyembuhkan sang putri. Silih berganti sandro berusaha mengobati Sang Putri, namun tidak seorangpun yang berhasil. Sampailah seorang sandro dari rantau datang. Namanya Zainal Abidin, dari tanah Sulawesi. Ternyata ia berhasil menyembuhkan sang putri.
Sayang, Sultan mangkir terhadap janjinya sendiri untuk menikahkan Sang Putri dengan sandro yang mampu menyembuhkan penyakit putrinya. Zainal Abidin adalah sandro muda yang tampan. Sang Putri pun bahkan jatuh cinta dengan sandro. Sultan bersikeras tidak mau menikahkan Sang Putri dengan sandro, bahkan tega mengusir sandro agar pulang ke tanah asalnya.

Karena diusir oleh Sultan, sandro melangkah menuju laut untuk naik kapal kembali ke negerinya, Sulawesi. Sang Putri yang terlanjur jatuh cinta mengejar sandro, tak tahu ia harus kemana, hingga sampailah ia di sebuah tanjung. Sesampai di tanjung tersebut, sandro ternyata sudah naik perahu meninggalkan Tana Samawa.
Tinggallah Sang Putri seorang diri di tanjung merenungi nasibnya karena kasih tak sampai. Ia menangis tanpa henti di tanjung itu. Sementara sambil berlayar di atas perahu, sandro menembangkan sebuah lawas (puisi):
Kumenong si sengo sia, intan e
Leng Poto Tanjung Menangis
Kupendi Onang ku Keme…
Sang Putri menunggu berhari-hari di tanjung itu, sambil tetap menangis. Akhirnya masyarakat menyebut tanjung itu dengan sebutan Tanjung Menangis.
Hari Sabtu 24 Desember 2011 yang baru lalu, saya berkesempatan mengunjungi pantai Tanjung Menangis di wilayah Sumbawa. Tanjung Menangis (Cape Weep), masuk wilayah kecamatan Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa, provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pantai ini sungguh indah, tampak sangat bersih, airnya bening, tampak biru, dengan pasir yang sangat indah. Berwarna coklat muda, hampir ke putih, dan memenuhi sepanjang pantai. Di seberang sana, nun jauh, tampak Pulau Moyo yang terlihat indah, menambah keindahan pemandangan pantai.
Saya segera penasaran dengan nama pantai yang terasa “aneh” itu. Pantai yang indah, tapi namanya Tanjung Menangis. Pasti ada sejarahnya. Ternyata seperti itulah legenda Tanjung Menangis, sebuah kisah sedih yang mengharukan. Judulnya, “kasih tak sampai”, selanjutnya kita sebut KTS.
Kisah cinta Sang Putri dengan seorang sandro muda nan tampan tersebut hanyalah legenda, atau dongeng yang beredar dari mulut ke mulut. Sangat sulit untuk memastikan kebenaran kisahnya, karena memang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah resmi. Namun KTS alias “kasih tak sampai” adalah tema besar yang selalu terulang sepanjang zaman, oleh putri dan sandro zaman sekarang.
Di Jogja Family Center banyak anak muda mengadukan persoalan KTS yang sering mengharubiru perasaan. Seorang perempuan muda usia mengadukan kesedihan hati, karena merasa dicampakkan oleh kekasihnya. Semula ia sangat yakin lelaki idamannya benar-benar setia. Harapan telah dipupuk dengan subur, hingga hatinya terlanjur tertambat kuat kepada sang kekasih. Namun ternyata ia salah. Sang kekasih meninggalkan dirinya dan menikah dengan perempuan lain.
Pada kisah KTS hampir selalu kita dapatkan aroma ketidaksetiaan atau pengkhianatan, walau ada juga sebab lain. Pada kisah Tanjung Menangis di atas, tampak Sultan Samawa mengkhianati janjinya sendiri. Pada kisah perempuan muda yang saya ceritakan, tampak ada ketidaksetiaan sang kekasih. Korbannya, adalah seseorang yang tersakiti hatinya. Terlukai jiwanya. Terenggut kebahagiaannya.

Kisah KTS sangat merugikan kaum perempuan. Karena secara umum kaum perempuan lebih dominan menggunakan potensi perasaan dan hatinya dalam menjalin hubungan dan komunikasi. Ketika seorang perempuan mengalami kejadian KTS dengan sebab apapun, ia akan terluka dan menderita, lebih berat dibandingkan apabila hal itu dialami oleh lelaki.
Bahkan ada dugaan kuat, lelaki yang pertama kali dicintai dan memasuki hati seorang perempuan, akan sulit dilupakan seumur hidupnya. Kecuali apabila perempuan ini mampu membersihkan hati dengan kegiatan ibadah dan ruhaniyah, sehingga hatinya terbersihkan dari kenangan masa lalu yang membelenggu. Tentu saja lelaki juga punya kenangan kepada perempuan yang pertama kali dicintai dan memasuki hatinya, namun karena lelaki banyak menggunakan potensi logika maka hal itu tidak terlalu membekas di hati dalam waktu lama.
Maka berhati-hatilah menjaga hati. Jangan mudah jatuh cinta, jangan mudah memberi harapan. Saya selalu menasehati anak-anak muda dengan sebuah rumus sederhana, “jangan memastikan sesuatu yang belum pasti”.
Misalnya seorang perempuan memiliki kekasih, dan mereka sudah bersepakat untuk meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan. Ingat, itu sesuatu hubungan yang belum pasti, maka jangan pernah memastikan bahwa akan sesuai harapan. Jika perempuan ini terbuai, ia rela menyerahkan semua yang dimiliki, sampai kehormatannya, kepada sang kekasih. Padahal hubungan mereka hanya sebatas janji dan kesepakatan atau komitmen.
Apabila kekasih mengingkari janji, jadilah ia perempuan yang merana dan sudah ternoda. Lelaki bejat ini tidak kelihatan “bekas” apapun dalam dirinya, atas pebuatan tidak bertanggung jawab yang telah ia lakukan. Ia bisa mengulang hal serupa kepada ribuan perempuan yang tidak tahan rayuan, dan selalu melakukan perbuatan di luar batas kepada setiap perempuan yang berhasil dibujuknya. Lagi-lagi, tidak tampak “bekas” atas kebejadan yang ia lakukan.
Namun berbeda dengan perempuan. Ada “bekas” nyata yang bisa dialaminya. Hamil di luar nikah. Zaman dulu, peristiwa hamil di luar nikah merupakan aib keluarga, sangat memalukan dan mencoreng semua anggota keluarga. Namun di zaman sekarang, seakan sudah menjadi tradisi yang lumrah. Apalagi banyak iklan terang-terangan menawarkan jasa aborsi, sehingga banyak kalangan tidak khawatir jika terkena hamil di luar nikah, karena sudah menemukan solusi. Aborsi. Na’udzu billah….
Ada bekas lain pada perempuan, yaitu goresan luka di hati. Merasa dikhianati, merasa ditipu. Sakit hati tidak terperi.
Mari berhati-hati menjaga hati. Jangan mudah menyerahkan hati kepada seseorang yang hanya mengobral janji. Jangan pernah memastikan sesuatu yang belum pasti.
Dalam kaitan relasi lelaki dan perempuan untuk menuju jenjang pernikahan, yang disebut sebagai pasti adalah apabila sudah terlaksana akad nikah yang sah sesuai aturan agama dan negara. Jika belum melaksanakan akad nikah, maka semua belum pasti. Semua kemungkinan masih bisa terjadi. Jangan melakukan perbuatan bodoh dan tidak bertanggung jawab dalam menjalin hubungan dengan kekasih hati.
Tidak layak kita berpikir “cinta tak mesti memiliki”, karena sulit memisahkan hati dari badan. Anda akan semakin sakit dan senewen, jika mencintai seseorang yang bukan milik anda. Mencintai isteri orang lain, mencintai suami orang lain, menjalin hubungan diam-diam dengan alasan cinta tak mesti memiliki. Hentikan saja khayalan semacam itu. Hiduplah di alam nyata, cinta itu aktivitas hati, pikiran dan badan. Jangan dipisah-pisahkan.
Jika anda sadar bahwa hubungan yang anda bangun akan mengarah kepada kisah KTS, segera hentikan. Ya, segera berhenti, jangan diteruskan. “Aku akan tetap mencintaimu seumur hidupku, walau tak pernah memilikimu”, buang kalimat seperti itu. Karena itu mustahil bin bohong bin dusta. Jangan biarkan anda merana karena mencintai seseorang yang tidak mungkin menjadi milik anda. Semakin anda teruskan, semakin membuat sakit perasaan.
Kisah KTS selalu menimbulkan korban sakit hati. Kata orang masih lebih ringan sakit gigi daripada sakit hati. Sedemikian sakit, sampai menimbulkan tangis yang sulit berhenti, hingga menjadi legenda Tanjung Menangis.
Cukuplah Tanjung Menangis menjadi saksi sakitnya hati akibat kasih tak sampai. Jangan ada yang mengalaminya lagi. Maka, mari berhati-hati menjaga hati....

  (Oleh Dony purwansyah)