BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Negara mengalami berbagai persoalan,
tentu kita sudah mahfum. Tidak hanya pada sektor pada bidang tertentu saja,
persoalan telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan
yang ada, persoalan semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi kian
kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan apapun
untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita atasi dan hadapi dengan
menerapkan pendekatan-pendekatan tertentupun demikian, reformasi segala bidang
sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan itu sebabnya reformasi pada
tahun 1998 dilakukan dengan harapan kondisi segera berubah dan lebih baik.
Sekarang,
setelah lebih kurang 18 tahun reformasi dilakukan persoalan-persoalan itu tak juga
dapat tuntas diselesaikan ada beberapa bidang yang mendapat klaim agak sedikit
membaik seperti bidang ekonomi misalnya namun tidak sedikit yang semakin terpuruk
seperti bidang hukum politik dan sosial. Dulu, informasi dilakukan antara lain
untuk memperbaiki hukum dan politik yang kurang memberi makna bagi kemaslahatan
rakyat. Setelah reformasi bukan tambah baik hukum dan politik tetap sering di
belikkan menjadi instrumen untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan hukum
dengan segala institusinya juga tak
mampu meredang kecenderungan penyalah gunaan kekuasaan, korupsi dan
praktik-praktik kotor lainnya. Politik di praktikkan dengan perilaku yang minim
kesantunan praktiknya, politik di redukasi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah
proses mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat
mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya diantara
sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan. Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan
bagi rakyat mengenai hendak dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya,
disorientasi itu pun berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang
dalam skala kecil atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan
negara.
Setelah segala cara memperbaiki
sistem, baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi dilakukan dan tak juga
menunjukkan hasil, maka banyak yang kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya
bukanlah soal sistem belaka, melainkan berkait dengan soal etika berbangsa dan
bernegara yang meredup. Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem
tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa
dan bernegara.
Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika
berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi
bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan
krisis etika dan moralitas.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa
pengertian etika?
1.2.2
Apakah
dasar prinsip etika bernegara itu?
1.2.3
Bagaimana dampak bergesernya nilai-nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara?
1.2.4
Apa yang menjadi kemudaran kesadaran terhadap
nilai-nilai budaya bangsa?
1.2.5
Apa yang menjadi melemahnya kemandirian bangsa?
1.2.6
Bagaimana
cara memecahkan masalah dalam beretika?
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1
Untuk
mengetahui etika kehidupan dalam berbangsa dan bernegara
1.3.2
Untuk
mengetahui dasar prinsip etika bernegara
1.3.3
Untuk
mengetahui dampak bergesernya
nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
1.3.4
Untuk
mengetahui kemudaran kesadaran terhadap
nilai-nilai budaya bangsa
1.3.5
Untuk
mengetahui kelemahan kemandirian bangsa
1.3.6
Untuk
mengetahui cara memecahkan masalah dalam beretika
1.4 Manfaat
Penelitian
1.4.1
Dapat
memberikan informasi kepada masyarakat tentang etika kehidupan dalam berbangsa
dan kewarganegaraan di Indonesia
1.4.2
Dapat
mengetahui dasar prinsip etika bernegara, dampak bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, kemudaran kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa,
lemahnya kemandirian bangsa dan cara memecahkan masalah dalam beretika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Etika
Etika
secara (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam
bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari
hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,
tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau
moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang
membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami
oleh pikiran manusia.
2.2 Dasar Prinsip Etika Bernegara
Etika merupakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan etika adalah barometer peradaban bangsa. Suatu bangsa dikatakan berperadaban
tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa bertindak sesuai dengan aturan
main yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap taat pada aturan main
memungkinkan aktifitas dan relasi antar sesama warga berjalan secara wajar,
efisien, dan tanpa hambatan. Masyarakat Jawa misalnya, dituntut dan diajarkan untuk
memahami benar tentang arti penting etika. Sebab, etika yang juga sering
disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan santun, dan budi pekerti membuatnya
mampu secara baik menempatkan diri dalam pergaulan sosial, dan itu akan sangat
menentukan keberhasilan dalam hidup bermasyarakat. Begitu pula dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, etika akan menjelaskan mana tingkah laku yang baik,
apa yang pantas, dan apa yang secara substansi mengandung kebaikan dan
sebaliknya. Bagi bangsa timur seperti Indonesia, etika telah mendarah daging
dimiliki dan diterapkan dalam kerangka penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan,
dan keadilan kolektif. Karena itu, kita masih yakin dan percaya, etika mengalir
menjadi bagian kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia. Bahkan secara
natural genetis, didalam diri bangsa mengalir sifat-sifat luhur manusia yang
ada perkembangannya, dirumuskan oleh faonding peoples kedalam pancasila, dan
selanjutnya disepakati sebagai dasar dan orientasi bernegara.
Melalui pancasila inilah, para
pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasar etis bernegara yang demikian
jelas dan visioner. Prinsip-prinsip dasar pancasila yang di tuangkan dalam UUD
1945 yang di sahkan PPKI pada 18 agustus 1945, tidaklah hadir sebagai intuitif
dan tiba-tiba jatuh dari langit melaikan melalui proses pengadilan mendalam.
Meskipun baru dibahas dan dikemukakan dalam sidang BPUPKI menjelang Indonesia
merdeka pemikiran mengenai prinsip-prinsip dasar dan bernegara sebenarnya telah
muncul dan di persiapkan jauh-jauh sebelumnya.
Jauh sebelum Indonesia merdeka,
berbagai pemikiran mengarah kepada gagasan terciptanya konstruksi kebangsaan
dan kemerdekaan Indonesia. Beragam pemikiran dan gagasan mengenai politik,
fundamen etis dan moral bangsa, ideologi, dan visi kebangsaan itu kemudian
bersintesis menggali dan mengakomodir nilai-nilai etika dan moral dalam
berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara., baik dibidang politik,
sosial, ekonomi dan lain-lain untuk di tuangkan kedalam UUD 1945. Di dalam
pembukaan UUD 1945 nilai
etika dan moral terdapat diseluruh pokok pikiran. Yang kemudian nilai-nilai itu dijabarkan kedalam pasal-pasal UUD
1945 itu sebabnya, UUD 1945 sejatinya merupakan sintesa nilai etika dan moral
yang diangkat dari niali-niali luhur bangsa Indonesia yang dikenal religius,
berprikemanusiaan, persatua, demograsi, dan keadilan. Hal ini sangat simetris
dan sinergis dengan tujuan bernegara dan berkonstitusi yakni mengarahkan kepada
moral kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Nilai-nilai luhur itu kemudian
disepakati untuk di formalisasi dengan sebutan pancasila didalam pancasila itu
ketuhanan di tempatkan sumber
etika dan spiritualitas pada posisi yang sangat penting sebagai fundamen etik
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasannya, Indonesia bukanlah negara
agama dan bukan pula negara sekuler, karena Indonesia melindungi hidupnya semua
agama dan keyakinan serta mengembangkan agama untuk bisa memainkan peran yang
berkaitan dengan penguatan etika sosial. Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilai
kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat
sosial manusia juga meruapakan fundamen penting bagi etika politik kehidupan
bernegara. Pengakuan dan pemuliaan hak-hak dasar warga negara secara adil dan
beradab merupakan prasyarat yang tak boleh diabaikan dalam bernegara.
Pancasila juga menekankan prinsip
persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan
itu dikelola dalam konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam
keragaman dan keragaman dalam persatuan. Dalam prinsip semacam ini, ada toleransi,
ada ruang hidup untuk bisa menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Perlu diketahui,
negara Indonesia merdeka dikonstruksi di atas perbedaan, sehingga perbedaan itu
bukanlah masalah tetapi justru menjadi sumber kekuatan. Dalam Pancasila terkandung
pula prinsip bahwa nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan tersebut diaktualisasikan
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat melalui prinsip musyawarah mufakat.
Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi menjadi landasan
etik bagi upaya mewujudkan keadilan sosial dengan semangat kekeluargaan.
Intinya, melalui Pancasila dan UUD 1945, prinsip-prinsip berbangsa dan
bernegara yang dibangun oleh para pendiri negara diarahkan untuk memajukan
kepentingan umum (bonnum commune) dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan,
penghormatan terhadap kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mengembangkan
demokrasi, serta berorientasi mewujudkan keadilan sosial. Inilah
prinsip-prinsip mendasar yang dijadikan acuan dalam merumuskan kehidupan
demokratis berbasis etika dan moralitas.
Dalam berpolitik misalnya, meskipun
identik dengan cara meraih kekuasaan, UUD menggariskan politik sebagai seni
yang mengandung kesantunan dan etika yang diukur dari pengutamaan moral.
Pilihan para pendiri negara untuk menyandarkan politik pada prinsip demokrasi
deliberatif yang mengedepankan pemusyawaratan dan bukan menang-menangan,
merupakan keputusan terbaik untuk mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan
yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya. Perbedaan, dalam hal ini tetap
dijunjung tinggi sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Terkait dengan implementasi hak
asasi manusia (HAM), Pembukaan UUD 1945 menyelaraskannya dengan filosofi,
budaya, serta struktur kemasyarakatan Indonesia. Dalam konteks filsafati, HAM
akan terpenuhi manakala manusia juga menunaikan kewajiban asasinya. Karena itu,
tegaknya HAM harus diartikan sebagai keseimbangan tegaknya hak asasi dengan
kewajiban asasi.
Demikian halnya dengan bidang
ekonomi. UUD 1945 mengepankan prinsip kesejahteraan sosial dalam setiap
aktifitas perekonomian yang berorientasi pada keadilan sosial. Pembangunan
ekonomi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial yang menjadi tolok
ukur keberhasilan pembangunan. Interaksi antar pelaku dalam ekonomi dilandasi
oleh semangat keseimbangan, keserasian, saling mengisi, dan saling menunjang
dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.3 Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam
Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara
Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah
dilaksanakan selama ini memang mengalami berbagai kemajuan. Namun, di
tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat dampak negatif, yaitu terjadinya
pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak dalam kehidupan masyarakat dewasa
ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas
sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu
dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Perilaku korupsi masih
banyak terjadi, identitas ke-"kami"-an cenderung ditonjolkan dan
mengalahkan identitas ke-"kita"-an, kepentingan kelompok, dan
golongan seakan masih menjadi prioritas. Ruang publik yang terbuka dimanfaatkan
dan dijadikan sebagai ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa. Benturan dan
kekerasan masih saja terjadi di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan bangsa Indonesia
sedang mengalami krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak penyelesaian
masalah yang cenderung diakhiri dengan tindakan anarkis. Aksi demontrasi
mahasiswa dan masyarakat seringkali melewati batas-batas ketentuan, merusak
lingkungan, bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang seharusnya
dijunjung dan dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah terjadi
pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi
kesemua itu disebabkan belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa,
kurangnnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum,
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan ketidakmerataan kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat.
2.4 Memudarnya Kesadaran terhadap
Nilai-nilai Budaya Bangsa
Pembangunan di bidang budaya telah
mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap
keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering
dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga penyebaran
informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak tehadap
ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut manyarakat Indonesia.
Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap
nilai-nilai budaya bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari
perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan
budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan
pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri.
Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa
perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia,
terutama masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh
oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan
karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat
agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri
bangsa sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.
2.5 Melemahnya Kemandirian Bangsa
Kemampuan bangsa yang berdaya saing
tinggi adalah kunci untuk membangun kemandirian bangsa. Daya saing yang tinggi,
akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan globalisasi dan mampu
memanfaatkan peluang yang ada. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain
pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi
tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunan, kemandirian aparatur pemerintahan
dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, pembiayaan pembangunan
yang bersumber dari dalam negeri yang semakin kukuh, dan kemampuan memenuhi
sendiri kebutuhan pokok. Namun hingga saat ini sikap ketergantungan masyarakat
dan bangsa Indonesia masih cukup tinggi terhadap bangsa lain. Konsekuensinya
bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kurang memiliki posisi tawar yang kuat
sehingga tidak jarang menerima kehendak negara donor meskipun secara ekonomi
kurang menguntungkan. Kurangnya kemandirian, juga tercermin dari sikap
masyarakat yang menjadikan produk asing sebagai primadona, etos kerja yang
masih perlu ditingkatkan, serta produk bangsa Indonesia dalam beberapa bidang
pertanian belum kompetitif di dunia internasional.
2.6 Pemecahan Masalah dalam Beretika
Sebenarnya, mulai hilangnya etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disadari sejak awal reformasi.
Hal ini karena salah satu faktor penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah
masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru
berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu
terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan
dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR
Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini sesungguhnya
saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan oleh para pejabat
negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan Etika Kehidupan Berbangsa
meliputi:
1. Etika Sosial Budaya
Etika sosial dan budaya bertolak
dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur,
saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling
menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan
kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan
dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu
ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku
para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.
2. Etika Politik dan Pemerintahan
Etika Politik dan Pemerintahan
mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur,
amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah
hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan
kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama
dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh
dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif
dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
3. Etika Ekonomi dan Bisnis
Persaingan yang jujur, berkeadilan,
mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan
saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang
berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika
ini mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi
yang mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di bidang ini lebih
menimbulkan akibat negatif seiring dengan munculnya dominasi kapitalisme yang
bersandar pada premis kaum libertarian bahwa kebebasan hasrat manusia harus
dijamin dan hanya dengan kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di
bidang ekonomi. Intinya, kapitalisme percaya bahwa nafsu keserakahan (greed)
manusia-lah yang akan mendatangkan kemajuan. Oleh karena itu, tidak boleh ada
batasan terhadap kebebasan keserakahan manusia ini, terutama kebebasan untuk
berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala cara. Premis mendasar
kapitalisme tersebut memunculkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) keburukan.
Pertama, persaingan bebas, dengan menghalalkan
segala cara, yang menghasilkan pemusatan kekuasaan atau modal hanya pada
segelintir orang. Karena keserakahan yang dibiarkan bebas, maka persaingan pun
terjadi dan pemilik modal lebih besar keluar sebagai pemenang. Selain menimbulkan
kesenjangan, pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar karena produksi
tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun terjadi dan
akan menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Kedua, perekonomian
kapitalisme tidak berpijak pada perekonomian riil. Pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan pendapatan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan
industri atau perdagangan barang dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat
semu dan berorientasi pada pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan.
Misalnya, perdagangan mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan
nilai dan jumlah uang yang beredar “seolah-olah” semakin besar dan bertambah
nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu akan mengalami
puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas ekonomi riil sebagai
dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar keserakahan dan persaingan bebas yang
menghalalkan segala cara telah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara,
terutama maraknya praktik korupsi.
4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Dimaksudkan untuk menumbuhkan
kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya
dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang
berpihak pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya
supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan
hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap
warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah
sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya..
5. Etika Keilmuan
Etika ini dimaksudkan untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar
warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran
untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan
budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa,
cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif,
dan komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya,
serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
6. Etika Lingkungan
Etika lingkungan menegaskan
pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta
penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Etika, sebagai
ajaran-ajaran moral yang menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan buruk
merupakan ajaran yang bersifat konstan sehingga persoalan sesungguhnya adalah
bagaimana menanamkan etika, mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan
dalam realitas kehidupan bernegara. Untuk itu, memperkuat etika berbangsa dapat
dilakukan melalui pendidikan ajaran nilai dan moral yang menjadi sumber etika
serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara. Di dalam Ketetapan Nomor
VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika bernegara
adalah:
1. Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur
bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dan pemberian contoh
keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin
masyarakat.
2. Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek
pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran
etika yang bersumber dari ajaran agama danbudaya luhur bangsa serta pendidikan
watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan
intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan.
3. Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan
keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan
akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan,pelaksanaan, maupun evaluasi. Atas
dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari situasi dan
lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran
akibat perilaku minim etika, sebaiknya kita harus segera mengembalikan etika
dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang kehidupan kita. Secara
kolektif kita harus segera menyadari kembali bahwa semua perilaku dan tindakan
kita haruslah berbasis pada etika dan moral dan mendudukannya sebagai ukuran
paling penting. Sebab secara kodrat, dimensi-dimensi etis dan keluhuran bangsa
ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur dan jati diri bangsa. Semua cara
tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara. Namun, terdapat dua hal
penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan etika merupakan pendidikan
karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai transfer pengetahuan. Dalam
prosespendidikan karakter ini peran keteladanan jauh lebih besar dibanding
dengan proses verbal. Perilaku dosen dan pimpinan perguruan tinggi lebih besar
pengaruhnya terhadap pembentukan etika mahasiswa dibanding kuliah tentang etika
di kelas. Keteladanan dalam menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam
menegakkan kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik menjadi hal yang
sangat penting untuk ditumbuhsuburkan di kampus-kampus. Demikian pula,
keteladanan aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi
terhadap upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding dengan
model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan.
Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan
hanya oleh negara dan para aparatnya.Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat
yang juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika
bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan perubahan
yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah model bagi
anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus dilakukan secara
simultan. Di era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki peran besar untuk
menentukan pemimipin yang beretika sekaligus mampu memperkuat etika berbangsa
dan bernegara. Untuk dapat melakukan hal ini, tentu harus ada kesadaran
terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta organisasi masyarakat dan politik
tentang pentingnya etika berbangsa dan bernegara. Atas dasar itulah,
nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di dalam sanubari dan
kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber atau dilandasi oleh
etika dan moral, akan berpotensi besar membahayakan masa depan dan menggagalkan
tujuan kitamewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis, berkeadaban,
dan berkeadilan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika
adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh
yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dalam Pancasila terkandung pula prinsip bahwa nilai ketuhanan,
kemanusiaan, dan persatuan tersebut diaktualisasikan dengan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat melalui prinsip musyawarah mufakat. Pembangunan nasional
dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini memang mengalami
berbagai kemajuan. Namun, di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat dampak
negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
3.2 Saran
Jagalah etika dan moral yang kita
miliki, agar identitas bangsa selalu terpelihara. Serta hindari segala hal yang
akan menjerumuskan kita pada sesuatu yang akan membuat kita menjadi orang yang
tidak beretika. Sebab etika merupakan identitas suatu bangsa, yang akan menentukan
baik dan buruknya bangsa tersebut. Tergantung pada kualitas masyarakat yang ada
didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Franz
Magnis-Suseno. 1988.Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia.
Farisi. 1991. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kristiadi. 2008. Demokrasi dan Etika Bernegara. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Kartohadiprodjo.
1986. Pancasila dan/dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bandung: Bina Cipta.
Noor Syam. 2009. Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai
Sistem
Kenegaraan
Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam
Kongres
Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei 2009 dan 1 Juni 2009.
Yogyakarta: Kampus UGM.
Mahfud. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara.Jakarta: LP3ES.
Yudi
Latif. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers.
Sutrisno Slamet. 2006. Filsafat dan Ideologi Pancasila.Yogyakarta:
Andi Publisher.
Soekarno.
1964. Lahirnja Pantja Sila, dalam Tjamkan Pantja Sila. Djakarta: Departemen Penerangan.